
- 3 bulan lalu
Dengan agentic AI, Zoom Virtual Agent 2.0 bantu perusahaan tingkatkan efisiensi, kurangi biaya, dan hadirkan layanan pelanggan premium.
TikTok secara resmi membantah laporan yang menyatakan bahwa China sedang mempertimbangkan penjualan aplikasi tersebut kepada Elon Musk untuk mempertahankan operasionalnya di Amerika Serikat, yang terancam larangan pemerintah.
Laporan Bloomberg yang dirilis pada hari Senin mengungkapkan bahwa pejabat China sedang mengevaluasi opsi Elon Musk mengakuisisi operasi TikTok di Amerika Serikat. Laporan tersebut mengutip sumber-sumber anonim yang tidak disebutkan namanya.
Juru bicara TikTok dengan tegas menyatakan, "Kami tidak dapat diminta mengkomentar sesuatu yang murni fiksi," seperti dikutip dari Variety.
Musk sendiri hingga saat ini belum memberikan komentar terkait laporan Bloomberg tersebut. Sebagai CEO Tesla dan SpaceX serta orang terkaya di dunia, Musk telah memiliki pengalaman mengakuisisi platform media sosial sebelumnya dengan pembelian Twitter seharga 44 miliar dolar pada 2022 dan kemudian mengubah namanya menjadi X.
Aplikasi TikTok berada dalam ancaman nyata untuk dilarang di Amerika Serikat berdasarkan undang-undang yang akan diberlakukan pada 19 Januari, kecuali Mahkamah Agung mengeluarkan putusan untuk menghentikan pemberlakuannya.
Pada Jumat, 10 Januari, Mahkamah Agung menggelar sidang untuk membahas banding darurat TikTok yang bertujuan memblokir undang-undang tersebut. TikTok dan ByteDance berargumen bahwa undang-undang tersebut melanggar hak Amendemen Pertama dari 170 juta pengguna di Amerika Serikat.
Namun, para hakim tampaknya lebih condong pada posisi pemerintah yang menyatakan TikTok sebagai ancaman keamanan nasional, mengingat aplikasi tersebut berada di bawah yurisdiksi Partai Komunis China.
Kongres Amerika Serikat telah mengesahkan undang-undang pembatasan TikTok dengan dukungan bipartisan yang kuat, yang kemudian ditandatangani Presiden Biden. Para pembuat undang-undang dari kedua belah pihak mengungkapkan kekhawatiran mendalam terkait kepemilikan China atas TikTok.
Undang-undang yang dinamakan "Protecting Americans from Foreign Adversary Controlled Applications Act" ini melarang Apple dan Google untuk mendistribusikan TikTok melalui toko aplikasi mereka, kecuali ByteDance menjual kepemilikannya kepada pihak dari negara yang tidak dianggap sebagai "musuh asing" Amerika Serikat.
Menariknya, Presiden terpilih Donald Trump telah meminta Mahkamah Agung untuk menunda pemberlakuan undang-undang tersebut. Tujuannya adalah memungkinkan pemerintahannya merundingkan resolusi yang dapat mencegah penutupan nasional TikTok, sekaligus melindungi hak Amendemen Pertama warga Amerika.
Ironisnya, pada masa pemerintahannya sebelumnya, Trump pernah berusaha memaksa penjualan TikTok kepada pihak berbasis Amerika, dengan alasan yang sama - kekhawatiran keamanan nasional.
ByteDance, perusahaan induk TikTok berbasis Beijing, belum menunjukkan indikasi akan menjual sahamnya yang mencapai 40 persen. Bahkan, sebelumnya pejabat China telah menyatakan akan memblokir upaya penjualan tersebut karena dianggap sebagai ekspor teknologi.
Konflik TikTok mencerminkan kompleksitas hubungan teknologi dan geopolitik antara Amerika Serikat dan China. Dengan berbagai kepentingan yang bertabrakan, nasib aplikasi yang memiliki ratusan juta pengguna ini masih berada dalam ketidakpastian hukum yang tinggi.